Si PAHIT LIDAH adalah julukan untuk SERUNTING, seorang pangeran yang berasal dari sumatra selatan. Ia terkenal punya kesaktian yang tinggi, namun ternyata kesaktiannya bisa dikalahkan oleh adik iparnya, Aria Tebing. Keduanya bertikai memperebutkan cendawan emas
yang tumbuh di perbatasan ladang mereka. Bagaimana cara Aria Tebing
mengalahkan Serunting yang sakti itu? Lalu, mengapa Pangeran Serunting
dijuluki Si Pahit Lidah? Simak kisahnya dalam cerita Si Pahit Lidah berikut ini!
Dahulu,
di daerah Sumidang, Sumatra Selatan, ada seorang pangeran bernama
Serunting. Ia adalah anak keturunan raksasa yang namanya Putri
Tenggang. Suatu hari, Pangeran Serunting mempersunting seorang gadis
desa bernama Sitti. Setelah menikah, ia mengajak istrinya untuk tinggal
di istana. Namun, Sitti bingung. Di satu sisi, ia tidak ingin berpisah
dengan adik laki-lakinya yang bernama Aria Tebing, tapi di sisi lain
ia harus patuh pada suaminya.
“Dinda
tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kanda. Dinda tidak tega jika harus
meninggalkan Aria Tebing, adik Dinda satu-satunya,” kata Sitti kepada
suaminya.
“Kalau begitu, bagaimana jika Aria Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?” usul Pangeran Serunting.
Sitti
pun menerima saran tersebut. Namun, ketika hal itu disampaikan kepada
Aria Tebing, adiknya itu justru menolak. Ia lebih senang hidup bebas di
desa daripada tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya,
Sitti dan Aria Tebing bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari
orangtua mereka. Kebun yang menjadi bagian Sitti secara tidak langsung
juga sudah menjadi milik Pangeran Serunting. Agar tidak terjadi
perselisihan di antara mereka, Pangeran Serunting pun menyarankan agar
kebun mereka diberi pembatas.
“Lebih
baik di tengah-tengah ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak
terjadi perselisihan di antara kita,” ujar Pangeran Serunting.
“Saran yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
Keesokan
harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan
membawa sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu
mereka tanam dalam-dalam di tengah ladang.
Beberapa
hari kemudian, pada kayu pembatas itu tumbuh tanaman cendawan atau
jamur. Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu itu jauh berbeda.
Cendawan yang mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan biasa,
sedangkan cendawan yang mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan
emas. Aria Tebing pun menjual cendawan emas tersebut dan ia menjadi
kaya raya. Rupanya, Serunting iri hati melihat nasib baik dialami oleh
adik iparnya itu.
Suatu
hari, Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas
di ladangnya. Ia sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti
hatinya.
“Hai, Aria Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran Serunting.
“Apa maksud, Kanda? Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan Kanda,” jawab Aria Tebing dengan heran.
“Ah,
bohong kamu! Pasti kamu telah berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran
Serunting, “Engkau telah membalik kayu pembatas itu sehingga cendawan
emas itu mengarah ke ladangmu!”
Aria
Tebing semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia
merasa tidak pernah membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu
tumbuh dengan sendirinya. Meskipun ia sudah meminta maaf dan
menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Pangeran Serunting tidak mau
terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk berkelahi.
“Hai, Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani, lawan aku! Aku menantangmu!” tantang Pangeran Serunting.
Aria
Tebing bingung untuk menjawab tantangan itu. Ia menyadari bahwa
dirinya akan mungkin mampu menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna
itu. Tapi, jika ia menolak tantangan itu, Pangeran Serunting pasti akan
membunuhnya.
“Baiklah, Kanda. Aku akan terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk berpikir!” pinta Aria Tebing.
“Baik,
kalau itu maumu. Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum waktu itu
tiba!” seru Pangeran Serunting dengan nada melecehkan.
Sejak
itu, Aria Tebing sulit memejamkan matanya. Ia bingung mencari cara
agar bisa mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan
itu dimulai, ia akhirnya menemukan jalan keluarnya.
“Ahhaaa... aku tahu cara sekarang,” gumam Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan Pangeran Serunting.”
Aria
Tebing menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian meminta
kepada kakaknya agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting.
“Kak
Sitti, tolong kasih tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!”
bujuk Aria Tebing, “Kalau tidak, ia pasti akan membunuhku.”
Sitti tidak menjawab. Hatinya sedang bingung. Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia pun tidak mampu mengkhianati suaminya.
“Maafkan aku, adikku. Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti kepada adiknya.
“Tolonglah
aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan
Pangeran Serunting, aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti
akan membunuhku. Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami
Kakak sendiri?”
Sitti kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah, Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik, aku janji. Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia
kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar
walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput
ilalang itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.”
“Baik, Kak. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aria Tebing.
Pada
hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi
ke sebuah padang ilalang. Setiba di sana, pertarungan pun dimulai. Baru
saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh
serangan-serangan kakak iparnya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa
tingginya kesaktian Pangeran Serunting.
Meskipun
demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan
sang pangeran. Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang
bergetar di padang itu. Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh
tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa
dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan
kampung halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di
sana, tiba-tiba ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai, anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu.
“Saya sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah,
tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu
hingga daun bambu itu menutupi seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang
Mahameru.
Tanpa
berpikir panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan
itu. Setelah itu, ia langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi.
Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap dalam pikiran dan
ingatannya. Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi. Semakin
lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun
ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun
bambu yang telah berguguran.
Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai,
anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan
baik, maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata
Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran.
“Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang Mahameru.
Dengan
perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya.
Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal
kesaktian yang baru diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon
tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!”
serunya.
Berkat
kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi
batu. Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah
karena kesaktian lidahhnya itu. Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati
sebuah bukit yang gersang dan tandus bernama Bukit Serut. Ia kemudian
mengubah bukit gersang itu menjadi hutan belantara. Ketika tiba di
suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi keinginan sepasang suami istri yang
sudah tua untuk memiliki anak. Dengan kesaktian lidahnya, ia mengubah
sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi laki-laki.
Begitulah
seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah
terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup. Setiba di
kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah
seiring dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan. Ia pun
meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga kepada istri tercintanya.
Source:http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/287-Si-Pahit-Lidah
Source:http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/287-Si-Pahit-Lidah